Ora lah, jere sapa , aja kaya kuwe, enyong, madang, kepriwe, kencot, dll adalah sebagian
kosakata unik dialek Ngapak. saya penasaran dengan asal-usul bahasa ngapak yang
biasa di pake oleh warga yang menggunakannya. Kalau Anda belum tahu dialek
Ngapak, dengarlah cara bicara Parto Patrio atau Cici Tegal. Dialek Ngapak ini
mempunyai ciri khas dengan akhiran kata “a” tetap dibaca “a” bukan “o” ,
Contohnya: Sapa (Ind: Siapa) tetap dibaca Sapa. Selain itu akhiran kata “k”
dilafalkan “k’’ yang mantap. Dialek Ngapak ini meliputi wilayah setengah
provinsi Jawa Tengah (Cilacap, Tegal, Brebes, Banyumas, Purbalingga, Kebumen,
Banjarnegara, sebagian Wonosobo, Pemalang, sebagian Pekalongan), Cirebon,
Indramayu, sebagian daerah Banten (Utara),. Saya dari kecil sudah menggunakan
bahasa ngapak tetapi belum tahu sejarahnya, parah abis. kesimpulan mengenai
bahasa Ngapak antara lain:
- Dialek Ngapak ini berhubungan
dengan asal-usul orang Banyumas yang berasal dari Kutai yang kemudian
mendirikan Kerajaan Galuh Purba. Kerajaan Galuh ini berdiri sebelum
kerajaan Mataram Kuna. Menurut sejarah, Kerajaan Galuh adalah wilayah
merdeka. Oleh sebab itu, saat itu wilayah Galuh disebut sebagai
mancanegara oleh orang-orang Kerajaan Mataram. Kemungkinan karena inilah
dialek Ngapak bebas dari pengaruh dialek “Mbandhek” / Jawa Wetanan.
- Dialek Ngapak ini diindikasikan
sebagai bahasa Jawa yang masih terdapat unsur Bahasa Sansekerta. “Bhineka
Tunggal Ika” merupakan salah satu contoh bahasa Sansekerta dengan akhiran
tetap dibaca “a” sebagaimana dialek Ngapak.
- Dialek
Ngapak merupakan identitas kebudayaan suatu daerah yang bebas dari budaya
feodalisme dan budaya asli yang bebas dari pengaruh rekayasa politik
(Kerajaan). Hal ini dapat dilihat dari karakter khas orang Banyumas yang
egaliter dan blakasuta (blak-blakan).
Berikut ini adalah detail penjelasan mengenai bahasa Ngapak.
Kerajaan Galuh Purba berdiri pada abad ke-1 Masehi di Gunung Slamet dan
berkembang pada abad ke-6 Masehi dengan kerajaan-kerajaan kecil diantaranya:
-
Kerajaan
Galuh Rahyang lokasi di Brebes, ibukota di Medang Pangramesan.
-
Kerajaan
Galuh Kalangon lokasi di Roban, ibukota di Medang Pangramesan.
-
Kerajaan
Galuh Lalean lokasi di Cilacap, ibukota di Medang Kamulan.
-
Kerajaan
Galuh Tanduran lokasi di Pananjung, ibukota di Bagolo.
-
Kerajaan
Galuh Kumara lokasi di Tegal, ibukota di bagolo.
-
Kerajaan
Pataka, lokasi di Nanggalacah, ibukota di Pataka.
-
Kerajaan
Galuh Imbanagara lokasi di Barunay (Pabuaran), ibukota di Imbanagara.
-
Kerajaan
Galuh Kalingga lokasi di Bojong, ibukota di Karangkamulyan.
Kerajaan Galuh Purba mempunyai wilayah kekuasaan yang lumayan luas, mulai
dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap,
Purbalingga, Banjarnegara, Kedu, Kebumen, Kulonprogo, dan Purwodadi.
Berdasarkan prasasti Bogor, karena pamor kerajaan Galuh Purba menurun
(kalah pamor dynasti Syailendra di Jawa Tengah yang mulai berkembang) kemudian
ibukota kerajaan Galuh Purba pindah ke Kawali (dekat Garut) kemudian disebut
Kerajaan Galuh Kawali.
Pada masa Purnawarman menjadi Raja Tarumanegara, kerajaan Galuh Kawali
menjadi kerajaan bawahan Tarumanegara. Pada saat Tarumanegara diperintah oleh
Raja Candrawarman, kerajaan Galuh Kawali kembali mendapatkan kekuasaannya
kembali. Pada masa Tarumanegara diperintah oleh Raja Tarusbawa, Wretikandayun
(raja Galuh Kawali) memisahkan diri (merdeka) dari Tarumanegara dan mendapat
dukungan dari Kerajaan Kalingga, kemudian menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat
pemerintahan Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh ini yang kemudian berkembang
menjadi Kerajaan Pajajaran di Jawa barat.
Meskipun dalam perkembangannya Kerajaan Galuh Purba berkembang menjadi
Kerajaan besar yaitu Kalingga di Jawa Tengah dan Galuh di Jawa Barat, hubungan
keturunan Galuh Purba tetap terjalin dengan baik dan terjadi perkawinan antar
Kerajaan sehingga muncul Dinasti Sanjaya yang kemudian mempunyai keturunan
raja-raja di Jawa.
Berdasarkan kajian bahasa yang dilakukan oleh E. M Uhlenbeck, 1964, dalam
bukunya: “A Critical Survey of Studies on the Language of Java and Madura”, The
Hague: Martinus Nijhoff, bahasa yang digunakan oleh “keturunan Galuh Purba”
masuk ke dalam Rumpun Basa Jawa Bagian Kulon yang meliputi: Sub Dialek Banten
Lor, Sub Dialek Cirebon/Idramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyuma, Sub
Dialek Bumiayu. Dialek inilah yang biasa disebut dengan Bahasa Jawa Ngapak.
(Sumber: Babad Banyumas diterjemahkan oleh http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Banyumasan)
(Sumber: Babad Banyumas diterjemahkan oleh http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Banyumasan)
Bahasa Ngapak
Representasi Budaya Egaliter
Menurut sejarah, perkembangan bahasa Jawa menjadi berbagai tingkatan
(Ngoko, Kromo, dan Kromo Inggil) merupakan produk budaya yang dipengaruhi oleh
situasi/kondisi politik pada masa itu (Mataram). Kemungkinan karena
posisi Banyumas diantara Sunda dan Mataram menjadikan bahasa Banyumas lebih
netral/bebas dari pengaruh Mataram. Menurut Ahmad Tohari (Budayawan Banyumas),
secara historis bahasa Jawa Banyumasan merupakan turun lurus (vertikal) dari
bahasa Jawa Tengahan/Kawi. Sedangkan bahasa Jawa Anyar logat Yogyakarta dan
Surakarta merupakan turun menyamping (horisontal).
Keegaliteran
ini dapat dilihat dari karakter orang Banyumas yang Blakasuta (blak-blakan)
yaitu apa adanya, tanpa basa-basi. Menurut, Priyadi (2000) budaya masyarakat
Banyumas yang tercermin dalam bahasa Jawa Dialek Banyumasan adalah budaya
tanggung atau marginal. Artinya dalam mengadopsi budaya Jawa dan Sunda
sama-sama dangkal. Oleh karena itu, masyarakat Banyumas tidak lagi mempedulikan
status sosial di masyarakat (ningrat/priyayi). Manusia Banyumas lebih suka
menggalang sikap kesetaraan yang bersifat universal. Etika di masyarakat
Banyumas dibangun atas dasar etika kemanusiaan yang dapat memunculkan kekuatan
solidaritas Banyumas yang membedakan antara Jawa-Banyumas dan Jawa lainnya.
Keegaliteran manusia Banyumas melahirkan prinsip kerukunan dijunjung tinggi
dengan filosofisnya yakni ungkapan tenimbang pager wesi, mendhingan
pager tai sehingga melahirkan prinsip aman dan tenteram. Hidup
bertetangga berarti saling menjaga rasa aman dalam kehidupan kolektif. Sikap
egaliter itu akan menjauhkan setiap individu dari sikap feodalisme yang
menempatkan kedudukan, pangkat, dan harta sebagai kiblat hubungan sosial. Oleh
karena itu, ungkapan orang desa seperti ngisor galeng, dhuwur galeng dijunjung
tinggi. Masyarakat Banyumas mempunyai keyakinan bahwa semua makhluk hidup di
mata Tuhan memiliki kedudukan yang sama. Namun, di lain sisi, etika kesetaraan
juga telah membentuk masyarakat Banyumas yang menonjolkan sikap-sikap suka
bercanda, berbicara tanpa memandang siapa yang diajak bicara, dimana berbicara,
kapan berbicara. Priyadi (2000:12) menyebut dengan istilah berbicara secara
penjorangan, semblothongan, atau glewehan yang berlebihan sehongga batas etika
diabaikan demi suatu keakraban dengan orang lain sesama orang Banyumas. Oleh
sebab itu, sering kita jumpai hubungan Banyumas antara orang yang lebih tua
dengan yang lebih muda seperti hubungan pertemanan yang jarang dijumpai di
daerah Jawa Wetan. (Sumber:http://baturraden.info/item/bahasa-banyumasan.html dan http://www.ki-demang.com/kbj5/index.php?option=com_content&view=article&id=1276&Itemid=1086)
Bahasa Ngapak dianggap
Lucu atau Bahasa Rendahan
Karakter orang Banyumas yang egaliter merupakan sisi positif sehingga
jarang kita temui orang Banyumas yang merendahkan/mengolok-olok bahasa atau
dialek orang lain. Mungkin justru sebaliknya karena sikap feodalisme sebagian
orang Jawa menganggap dialek bahasa Jawa Ngapak sebagai bahasa yang lucu dan
rendahan. Ada pandangan stereotip yang menganggap sebagian besar generasi muda
Banyumas merasa inferior (rendah diri) ketika menggunakan bahasa Ngapak. Hal
ini bisa dilihat bagaimana bahasa yang digunakan oleh orang Banyumas saat
berinteraksi dengan orang Jawa Wetan. Kalau tidak menyesuaikan diri dengan membandhekan ke-ngapakannya dipastikan
menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi dengan orang yang berbahasa
Jawa Wetan. Menurut saya, ini bukanlah suatu hal yang negatif tetapi sebagai
bentuk adaptasi orang Banyumas dengan orang dialek bahasa lain. Oleh sebab itu,
sering saya temui orang Banyumas di Jakarta menggunakan dialek Betawi, orang
Banyumas di Yogyakarta menggunakan dialek Mbandhek, dan ketika
bertemu dengan orang sesama Banyumas kembali menggunakan bahasa dialek Ngapaknya.
Justru suatu hal yang buruk jika sesama orang Banyumas berdialog dengan tidak
menggunakan dialek Ngapaknya. Oleh sebab itu, saya menyarankan kepada generasi
muda Banyumas untuk melestarikan dialek Ngapak dengan menggunakan dialek
Ngapaknya saat ngobrol dengan sesama orang Banyumas. Selain itu, kepada
sebagian orang yang menganggap dialek Ngapak sebagai bahasa Lucu atau Rendahan
mari kita saling menghargai kebudayaan orang lain. (Sumber:http://kem.ami.or.id/2011/08/mempertahankan-bhineka-di-depan-tunggal-ika/).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar